‘Cause you’re amazing. Just
the way you are..’
Dering telepon genggam
cukup menjadi alarm dadakan yang sempurna. Aku berjalan malas menuju meja kecil
di arah jam dua belas, sumber dering teleponku. Nokia C2-01 yang casingnya sudah berkarat masih belum
menghentikan deringnya. Bola mataku saling melempar malas untuk membaca
panggilan masuk. Lima detik kemudian aku terbelalak.
‘Veronica!’ tanganku
langsung mendapat tugas untuk mengucak mata. Aku membacanya ulang,
berkali-kali, bahkan mengeja hurufnya. Jantungku berdebar sangat cepat seperti pengendara
bajaj yang sedang mengikuti balapan F1. Ini diluar dugaan, rekor MURI, catat
tanggal, liat primbon, beragam imajinasi bodoh mulai beradu kata dipikiranku. Aku
kembali tersadar dengan tamparan empuk yang terdampar dipipi kananku, tamparan
dariku tentunya.
‘Ah! Apa saja yang sedang
kupikirkan? Telat mengangkat satu detik saja adalah dosa bagiku.’ Aku menghela
nafas panjang. Ingin rasanya mengambil permen mint agar suaraku terdengar
tampan dan nafas bau ilerku tak tercium diseberang sana. Detik ini juga aku
ingin membenarkan semua peribahasa yang mengatakan ‘Orang yang paling bodoh sedunia adalah orang yang sedang jatuh cinta.’
Aku mengenggam yakin telepon genggamku. Aku masih menyimpan ragu. Keluarlah
sebuah ide bodoh untuk membuat percakapanku ditelepon terdengar romantis. Aku melihat
sekeliling untuk melacak keberadaan radio kecil peninggalan nenek.
‘Ketemu!’ aku langsung
memainkan lagu romantis melalui kaset dilanjutkan dengan menarik nafas dan
menghembuskannya dengan cepat. Ibu jariku gemetar untuk menekan tombol jawab
panggilan.
‘Halo.’ Ah bodohnya
aku! Memangnya dia sedang bertelepon dengan Bapak Presiden? Mengapa aku begitu
kaku? Aku mencaci diri dalam hati.
‘Reza, aku punya kabar
bagus.’ Suara Veronica terdengar begitu lembut. Aku tersenyum bodoh dan membayangkan
bahwa Veronica sedang memakai sayap. Mungkin telepon genggamku sedang jatuh
cinta juga padanya.
‘Ohya? Apa itu?’ aku
kembali mencaci diri. Suaraku terdengar tidak jantan, cenderung gemulai.
‘Semalam aku jadian. Dengan
Rino, sahabatmu.’
Hening. Kakiku lemas. Hanya
butuh tiga detik bagiku untuk menghempaskan telepon genggam. Aku menerawang
jauh. Pipiku basah.
Radio kecilku masih
bersuara,
‘Meski kau terus sakiti aku. Cinta ini akan selalu memaafkan. Dan aku percaya nanti engkau, mengerti bila cintaku takkan mati..’
0 komentar:
Posting Komentar