Ada yang aneh saat aku melihat
namamu di sudut kamarku. Aku meniup debu yang sudah lama menutupi nama indahmu.
Terlihat usang oleh goresan tinta merah muda yang membentuk gambar hati. Namamu
ada di dalam gambar itu. Terlihat manis, sekilas. Sebelum aku sadar bahwa kita
sudah lama tak saling bertukar rasa.
Aku terus memperhatikan huruf
demi huruf yang membentuk sebuah nama. Nama yang dahulu menjadi pusat perhatian
dari segala jenis waktu yang aku punya. Aku takkan menuliskan namamu disini.
Cukup hatiku saja yang selalu kau penuhi.
November. Bulan kelahiranmu. Hari
jadimu memang bukan hari ini. Sudah terlewat cukup jauh untuk hitungan jam. Aku
tak mengucapkan apapun, karna aku tau, kau takkan pernah memperdulikan
ucapanku. Aku hanya berdoa, memejamkan mata dan menghembuskan rasa perih saat
ingatan wajahmu mulai menjamah otakku.
Aku sampai lupa kapan terakhir
kita berjumpa. Apakah itu sudah cukup membuktikan betapa aku ingin segera lupa
akan dirimu? Tidak tentunya. Hatiku bagai sebuah gurun pasir, dan kamulah
oasisnya. Kamulah detak kehidupan, yang tak ingin lagi kuingat.
Pertemuan pertama selalu
menimbulkan kesan bodoh. Mungkin kalimat tadi hanya pantas terlempar untukku.
Aku berjalan, mencoba mengajakmu berbicara. Sementara kamu berjalan, lebih
cepat, dan membelokkan arah saat mulai menjawab semua pertanyaan tidak
pentingku. Aku menghentikan langkah. Melihat punggungmu yang mulai hilang dari
pandangan mata. Senyum getirku melengkung.
Aku masih belum menyerah.
Mengajakmu berbicara dilain hari, membincangkan hal yang selalu saja kau anggap
idiot, dan menertawai hal yang tak pernah kau tertawakan. Aku sadar kita
berbeda. Tatapan dinginmu cukup menjelaskan semuanya.
Aku masih saja belum menyerah.
Bertahan tidak tidur demi menunggu detik hari jadimu. Mengucapkan dengan ragu
karna takut ada orang lain yang kau harapkan untuk mengucapkan pertama kali.
Aku takut, kubatalkan niatku. Aku mengucapkannya di pagi hari dan mendapati kau
tidak membalasnya hingga larut malam.
Oktober. Bulan kelahiranku. Saat
itu aku masih tergila dengan sosokmu. Aku menunggumu, tengah malam itu, menanti
namamu hinggap pertama di kotak masukku. Malamnya aku tersadar, kau sama sekali
tidak mengingatnya. Dengan bodohnya aku menunggu hari berikutnya, hatiku
memberi belaan kepada dirimu takut saja kemarinnya kau sibuk. Tetapi semua
nihil. Sudah lima tahun aku menunggumu, dalam setiap Oktober yang kunanti, tapi
kamu tak pernah mengucapkannya sama sekali.
Selamat tinggal kepahitan. Aku
tak sedang merasakan yang manis, karna waktu yang akan menunjukannya padaku.
Selamat tinggal kamu, kita yang tak pernah ada, kita yang hanya barisan mimpi.
0 komentar:
Posting Komentar