“Kiri bang,” aku memberhentikan angkutan umum. Peluhku balapan
menetes mengaliri tubuh. Ah.. sudah biasa.
Aku berjalan cepat dari gang menuju rumah. Rindu sekali
rasanya melihat kasur yang terpojok dan tak berdaya itu. Aku mempercepat
langkah, semakin cepat, namun tak sampai loncat dari pohon ke pohon seperti film
Twilight.
Dalam perjalanan dari gang ke rumah, banyak sekali yang
sudah aku lewati. Ada seorang tukang pecel yang sedang bertelepon dengan
loudspeaker dan membicarakan gosip Musdalifah, ada lagi dua anak kecil berkaus
kutang dan berlarian entah mengejar apa. Mungkin mereka sedang berebutan Snack
Susu Realgood yang begitu nikmat jika dikenyot.
Ada lagi seorang lelaki yang berjalan dengan menunduk dan...
eits! Aku mengenalnya! Langkahku terhenti, mulai mendetilkan wajahnya dari
jauh. Wajah itu tak asing. Aku memutar mesin ingatan di otakku. Ah iya.. dia
pujaanku. Dulu, saat aku masih berseragam merah putih.
Hahaha dia bukanlah cinta pertamaku. Saat aku mengaguminya
dulu, tak ada sepatah kata cinta yang terucap. Mungkin dia cinta ke-nol-ku. Cinta
yang ada saat kita belum mengerti apapun tentang cinta. Aku masih menikmati
wajahnya. Dia berdiri di dekat tiang listrik. Harusnya ada lagu romantis yang
terputar saat ini. Tapi apadaya, tukang tape dengan lagu dangdutnya terlalu
tega merusak suasana.
Aku kembali mengamati sosoknya. Terlihat lebih tampan,
batinku. Aku sempat berkhayal bahwa dia akan menghampiriku dan beberapa penari
latar mengikutinya dari belakang. Lalu dia menyerahkan bunga dan kita memutari
pohon bersama. HAHAHA! Dia masih sibuk dengan ponselnya. Kupikir dia sedang
menunggu teman. Langkahku mendekat. Kini aku hanya berjarak satu jengkal
dinosaurus darinya. Aku menunggu lima detik, dia masih terdiam. Aku menunggu
lima menit, dia masih juga terdiam. Aku menunggu lima windu... eh, lima windu
itu berapa tahun ya? Aku membuyarkan lamunan. Lagi.
Aku mulai cemberut melihat dia tak bereaksi. Haruskah aku
memutar-mutar di depannya dan bernyanyi “Telepon aku.. tujuh dua tujuh enam
kali..”
Tapi tunggu, hey dia bergerak! Dia melangkah menuju warung. Membeli
sesuatu dan pergi membelok. Aku mengamati punggungnya lamat-lamat. Mungkin dia
sudah lupa padaku. Mungkin dia sudah lupa pada wanita yang telah menumpahkan mi
sakura ke bajunya di kantin SD. Mungkin juga dia lupa tentang seorang wanita
yang setiap bel pulang sekolah berdiri di samping kelasnya hanya untuk
melihatnya tertawa secara diam-diam. Biarlah..
Layaknya teh manis yang hanya nikmat jika diminum selagi hangat, maka indahnya mengagumi adalah saat kita masih saling mereka-reka satu sama lain.
0 komentar:
Posting Komentar