Aku berteriak, namun kau menutup telinga.
Dan saat kau membuka telinga, aku telah pergi dengan suara dan pengharapan yang telah lenyap.
Kamu mencari teriakkan itu.
Memaksa semesta untuk berteriak kembali, tanpa menyadari bahwa semuanya sudah terlambat.
Kamu menyesal.
Kamu terpukul lebih dalam daripada aku.
Percayalah, disakiti tak sesakit menyakiti.
Aku pergi dengan rasa sakit yang mudah lenyap oleh cinta baru.
Kamu pergi dengan rasa menyesal yang membuatmu sulit mendapat cinta baru.
Aku menemukan cinta baru, dan bahagia karenanya.
Kamu menemukan cinta baru, dan terluka. Karna menurutmu aku lebih baik.
Dahulu, mengarap cintamu bagaikan menunggu taksi di peron kereta. Begitu mustahil.
Kini, mengharapku kembali bagaikan mengambil gula dari teh manis yang sudah larut.
Tak akan bisa.
Kamu digeluti oleh rasa menyesal karna telah membuang cinta.
Aku digeluti oleh rasa bahagia karna telah mengetahui sebuah kepastian.
Kamu melangkah dengan wajah muram dan senyum yang terbalik.
Aku melangkah dengan pasti, walau awalnya menitikkan air mata.
Itulah kamu.
Yang dulu selalu menutup telinga, yang dulu selalu tak mau tau, yang sekarang terbayangi oleh bumbu penyesalan.
Inilah aku.
Yang dulu begitu mencintaimu, yang dulu tak putus asa mengharapkanmu, yang sekarang tersenyum karna tau kamu tak layak untuk diimpikan.
Saat aku tak lagi memikirkanmu, kau memaksa.
Dimanakah kau buang kesempatanmu yang dulu?
Sakit hati tidaklah lebih buruk dari penyesalan.
Dulu, aku selalu merapalkan namamu dalam doa.
Sekarang kamu menangis.
Iya.. karna nama yang kurapalkan bukan lagi kamu.
0 komentar:
Posting Komentar